Sejarah Pendidikan di Zaman Pendudukan Jepang
Wednesday, 29 April 2020
Add Comment
Pendidikan di Zaman Pendudukan Jepang
Didorong semangat untuk
mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia
Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina,
Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan
Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara
sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya)
dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan
Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan
konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola
pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang
sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan
Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang
Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa
Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan
beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama
bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
1. Dijadikannya Bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;
2. Adanya integrasi sistem pendidikan
dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era
penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa
pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1.
Pendidikan
Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah
Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun
bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
2.
Pendidikan
Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama
studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama
studi 3 tahun.
3.
Pendidikan
Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang
pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
4.
Pendidikan
Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh
pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di
bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada
Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang
tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib
serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro
sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga
pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di
Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena
itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi
kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang
akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem
Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang)
untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi
Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih
guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan
pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:
1. Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu;
2. Nippon Seisyin, yaitu latihan
kemiliteran dan semangat Jepang;
3. Bahasa, sejarah dan adat-istiadat
Jepang;
4. Ilmu bumi dengan perspektif
geopolitis; serta
5. Olaharaga dan nyanyian Jepang.
Sementara untuk pembinaan kesiswaan.
Jepang mewajibkan bagi setiap murid
sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini:
1. Menyanyikan lagu kebangsaan Jepang,
Kimigayo setiap pagi;
2. Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura
dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi;
3. setiap pagi mereka juga harus
melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya;
4. Setiap pagi mereka juga diwajibkan
melakukan Taiso, senam Jepang;
5. Melakukan latihan-latihan fisik dan
militer;
6. Menjadikan bahasa Indonesia sebagai
pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib
diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang
menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan
materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus
ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah
berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi
pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai
keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk
mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk
kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe
akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga
melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan
kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi
kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi
Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini
menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat
dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan
Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor
Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis
menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di
daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan
dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah
yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah
pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4)
Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air
(PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5)
Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun
kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas
dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika
itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah
tercapainya kemerdekaan.
C.
Pendidikan
Masa Indonesia Merdeka
Pada dasarnya pendidikan pada masa Indonesia Merdeka tak
jauh dengan sistem persekolahan hasil kebijakan pendudukan Jepang di atas. Pada
masa ini, kualitas pendidikan masih dikatakan stabil dengan kurikulum mencomot
dari apa yang dilakukan penguasa Jepang terhadap rakyat Indonesia. Hanya saja,
karena persoalan revolusi yang belum selesai dan kemelut politik yang
terus-menerus, maka sektor pendidikan menjadi korban kebijakan politik.
Pendidikan mengalami sedikit pengabaian. Pendidikan di tingkat atas agak
diabaikan sementara oleh pemerintah Indonesia sendiri.
Pada masa awal kemerdekaan ini, guru-guru
bekas pengajar pada masa kolonial Belanda dipekerjakan kembali meskipun dengan
gaji yang lebih kecil. Kondisi yang berubah membuat mereka tidak terbiasa
dengan keadaan. Banyak dari mereka yang masih menerapkan pola pengajaran ketat
dan disiplin ala Belanda, sehingga cenderung menghasilkan setidaknya mutu
lulusan yang sama dengan masa Kolonial Belanda.
Pada masa Orde Baru, pendidikan mengalami
perubahan yang cukup signifikan. Agar bangsa Indonesia memiliki kualitas
pendidikan yang sama dengan negara-negara maju lainnya, maka secara kuantitas
dibangunlah semua sarana pendidikan di setiap daerah. Alhasil, sekolah begitu
banyak berdiri di tanah air. Secara kuantitatif pendidikan mengalami
perkembangan yang pesat. Setiap anak dapat bersekolah dengan mudah. Namun di
sisi lain, kualitas tidak bisa terjaga dengan baik. Kekurangan guru yang baik
menjadi problematika pemerintah Indonesia. Sekolah Pendidikan Guru yang berdiri
pada awal kemerdekaan tidak cukup menyediakan lulusannya yang siap pakai.
Jumlah sekolah melebihi kapasitas guru yang ada. Akibatnya, pemerintah
mengambil jalan pintas. Semua lulusan setingkat SLTA diperbolehkan menjadi guru
meski mereka tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan sebagai guru yang
layak.
Di daerah-daerah, terjadi kemerosotan
pendayagunaan sarana dan prasarana. Artinya terjadi jurang pemisah yang sangat
tajam antara sekolah desa dengan sekolah di pusat perkotaan. Sekolah desa hanya
mengandalkan kebijakan pusat yang bersifat proyek. Pembangunan ruang kelas
berhasil, namun penyediaan sarana dan prasarana lainnya tidak mendukung.
Sementara itu, sekolah perkotaan dengan bantuan orang tua siswa dan akses yang
mudah pada pemerintah pusat mendapatkan bantuan buku-buku perpustakaan dan
sarana pendukung lain yang baik.
Pada masa ini, kualitas lulusan siswa tidak
sebanding dengan perkembangan sarana pendidikan di Indonesia. Sekolah begitu
banyak namun tingkat kualitasnya mengalami penurunan bila dibandingkan dengan
periode sebelumnya. Agaknya beban kurikulum yang terlalu lebar tidak sepadan
dengan kemampuan kognitif siswa yang harus menyerap semua informasi dan
pengetahuan.
Di sisi lain, perubahan kurikulum terjadi
hampir setiap 10 (sepuluh) tahun. Kurikulum 1978 diganti dengan munculnya
kurikulum 1984. Kurikulum 1984 diganti dengan kurikulum 1994. Demikian pula
kurikulum 1994 mengalami beragam tambahn yang dibuktikan dengan adanya suplemen
1994.
Agaknya perubahan kurikulum tersebut
dilaksanakan karena terkait dengan perkembangan jaman. Tuntutan perbaikan
kualitas dan juga kepentingan politik tertentu melahirkan kebijakan-kebijakan
yang sarat dengan kepentingan ideologi. Contohnya adalah pemberlakuan materi
PSPB pada kurikulum 1984 yang sarat dengan muatan ideologis dan politis.
Demikian pula salah satu syarat kenaikan kelas seorang siswa harus mendapatkan
nilai minimal 6,0 dengan skala 1 sampai dengan 10 pada nilai raport. Jika nilai
dibawah itu, maka siswa tidak dapat naik kelas meskipun pelajaran lain mendapat
9 (sembilan).
Pada masa pemberlakuan kurikulum 1984 ini
model pembelajaran yang sangat terkenal adalah CBSA atau Cara Belajar Siswa
Aktif di mana guru memberikan peluang dan respon bagi siswa yang memang
memiliki kecerdasan dan kepintaran. Sistem ini dipergunakan untuk merubah model
pengajaran yang kaku dan statis seperti yang dilaksanakan pada masa sebelumnya.
Pendidikan Masa Reformasi Pada masa
reformasi, jelas sekali kebijakan yang dihasilkan terkait dengan aspek politik
dan ekonomi. Munculnya suplemen 1999 juga dalam rangka kepentingan politik yang
mendasarinya.
Namun semenjak penataran P-4 (Eka Prasetya
Pancakarsa) ditiadakan maka dunia pendidikan dikembalikan pada posisi yang
semestinya.
Pada tahun 2004 mulai diberlakukan kebijakan
kurikulum baru. Kurikulum berbasis kompetensi menjadi jawaban atas perkembangan
jaman. Kurikulum ini berusaha untuk memberikan solusi atas perubahan jaman dan
globalisasi yang melanda dunia mana saja.
Namun demikian, dunia pendidikan bukan
berarti lepas dari persoalan yang ada. Pembaharuan kurikulum ternyata tidak
diimbangi dengan manajemen dan kebijakan baru dalam menjaga mutu dan kualitas
lulusan. Ujian nasional dengan pemberlakuan standar nilai yang dilakukan secara
terpusat telah memberangus standar proses yang seharusnya menjadi titian utama
kurikulum 2004.
Di sisi lain, masalah kesejahteraan guru
menjadi satu faktor yang belum dituntaskan pada masa reformasi ini.
Kesejahteraan guru mulai diperhatikan ketika era Presiden Abdurrahman Wahid
menaikkan gaji guru hingga sama dengan pegawai negeri lainnya. Pada akhirnya
era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kesejahteraan guru dan anggaran
pendidikan 20% disahkan melalui undang-undang guru dan dosen serta sistem
pendidikan nasional. Sertifikasi guru dilaksanakan secara menyeluruh dengan
konsekuensi guru mendapatkan penghasilan tambahan sebesar satu kali gaji
pokok.
Kurikulum 2006 akhirnya diberlakukan pula
dalam menekankan makna keberfungsian semangat kompetensi dan kepentingan lokal.
Tidak hanya itu saja, pemerintah juga memberikan subsidi dana bagi sekolah dari
tingkat dasar sampai SLTP lewat Dana Bos. Di samping itu, pemerintah memberlakukan
MBS sebagai model manajemen sebuah sekolah yang efektif dan efisien. Pemerintah
pula memilah dan mencoba memberikan kriteria bagi upaya peningkatan kualitas
sekolah secara utuh. Kriteria SSN, akselerasi, imersi, RSKM, SKM, RSBI, dan SBI
menjadi sesuatu yang lazim ada situasi persekolahan saat ini.
Baca Juga:Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Penelusuran yang terkait dengan Sejarah Pendidikan di Zaman Pendudukan Jepang
- pendidikan pada masa penjajahan jepang
- makalah pendidikan pada masa penjajahan jepang
- pendidikan pada masa penjajahan jepang pdf
- sebutkan sistem pendidikan pada masa pendudukan jepang
- pendidikan pada masa jepang brainly
- pendidikan pada masa kolonial belanda dan jepang
- sekolah guru pada masa jepang ditunjukkan oleh nomor
- pertanyaan tentang pendidikan pada masa kolonial belanda
0 Response to "Sejarah Pendidikan di Zaman Pendudukan Jepang"
Post a Comment