Pengertian dan Metode Isolasi DNA Plasmid ( Artikel Lengkap )
Tuesday, 2 October 2018
Add Comment
Kampungilmu.web.id - Plasmid adalah DNA ekstrakromosomal yang umum dijumpai pada mikrobia atau beberapa yeast (Madigan et al., 2012). Plasmid memiliki struktur dobel heliks sirkular dengan ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan ukuran DNA kromosomal, ukuran plasmid berkisar antara 2 hingga 200 kb (Turner et al., 2007). Sebagai materi genetik ektrakromosomal, plasmid tidak mengandung gen-gen yang esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan sel sebagaimana kromosom, namun plasmid mengandung gen-gen yang dibutuhkan sel untuk bertahan hidup pada suatu kondisi tertentu (Dawson et al., 1996). Plasmid memiliki daerah awal replikasi (OriC) sehingga plasmid dapat bereplikasi secara independen dan tidak bergantung pada kromosom (Hardy, 1987). Plasmid dapat ditransfer dari satu sel ke sel yang lain. Kemampuan plasmid untuk ditransfer dari satu sel ke sel lain mengindikasikan gen-gen yang terdapat pada plasmid dapat diekspresikan pada sel lain (Campbell & Farrell, 2009).
Isolasi dna plasmid adalah proses memisahkan DNA plasmid dari sel
bakteri atau yeast. Manfaat isolasi plasmid pada umumnya digunakan
sebagai vektor dalam berbagai teknik rekayasa genetika seperti kloning
gen atau transformasi (Nicholl, 2008). Plasmid memiliki beberapa
karakteristik sehingga dapat digunakan sebagai vektor, di antaranya
memiliki ukuran yang relatif kecil, hal ini sangat penting untuk
efisiensi transformasi dan penanganan (Dawson et al., 1996). Selain
ukuran yang relatif kecil, plasmid memiliki restriction site yang unik
sehingga dapat dipotong oleh enzim endonuklease restriksi yang spesifik
dan dapat diinsersikan gen atau segmen DNA pada plasmid tersebut
(Campbell & Farrell, 2009). Plasmid memiliki gen pengkode resistensi
terhadap antibiotik tertentu sehingga dapat digunakan sebagai marker
seleksi untuk mendeteksi transforman (Turner et al., 1997).
Dalam proses isolasi DNA plasmid bakteri maupun yeast, terdapat dua
metode yang umum digunakan dalam isolasi DNA plasmid, yaitu metode
boiling dan metode alkaline lysis (Sambrook & Russell, 2001). Secara
umum, prinsip isolasi DNA plasmid pada kedua metode tersebut adalah
sama, yaitu pelisisan sel, ekstraksi DNA plasmid, serta presipitasi dan
purifikasi DNA plasmid.
Metode Isolasi Plasmid
1. Metode Boiling
Isolasi DNA plasmid dengan metode boiling menggunakan prinsip bahwa suhu
tinggi setelah proses pelisisan sel akan mendenaturasi protein dan DNA,
namun tidak dapat memisahkan kedua untai DNA pada struktur dobel heliks
sirkular plasmid (Sambrook & Russell, 2001). Teknik isolasi plasmid
tersebut disebabkan DNA sirkular plasmid memiliki topologi dua untai
polinukleotida sirkular yang saling berkaitan. Pada saat suhu
diturunkan, plasmid akan mengalami renaturasi, sedangkan DNA kromosomal
yang menjadi linear setelah proses pelisisan sel dan tetap terikat pada
membran sel tidak dapat mengalami renaturasi akan mengendap dan
terpisahkan dari DNA plasmid setelah disentrifugasi (Boyer, 2000).
2. Metode Alkaline Lisis
Pada metode isalasi DNA plasmid ini, kondisi alkali yang disebabkan
perlakuan dengan campuran SDS dan NaOH menyebabkan DNA kromosomal dan
plasmid mengalami denaturasi setelah sel mengalami lisis (Turner et al.,
1997). Penambahan natrium astetat setelah perlakuan alkali dapat
menetralkan pH dan menyebabkan DNA mengalami renaturasi (Reece, 2004).
Pada kondisi tersebut, DNA plasmid dapat mengalami renaturasi dengan
segera, namun DNA kromosomal membentuk agregat yang diakibatkan adanya
asosiasi interstrand dan menyebabkan DNA kromosomal terendapkan bersama
komponen protein setelah disentrifugasi (Ausubelet al., 2003).
Tahapan Isolasi Plasmid
1. Pelisisan Sel
Penghancuran sel merupakan tahapan awal isolasi DNA plasmid yang
bertujuan untuk mengeluarkan isi sel (Holme, 1998). Penghancuran sel
pada isolasi DNA plasmid dapat dilakukan dengan menggunakan detergen
atau secara enzimatik (Jones & Sutton, 1997). Detergen yang umum
digunakan untuk melisiskan sel adalah SDS sodium dodecyl sulphate (SDS),
detergen dapat melarutkan lipid yang terdapat pada membran sel sehingga
dapat mendestabilisasi membran sel (Surzycki, 2000). Pada isolasiDNA
plasmid dengan metode alkaline lysis, detergen SDS dicampur dengan NaOH
dengan tujuan untuk menciptakan kondisi alkali sehingga DNA
terdenaturasi (Turner et al., 1997).
2. Ekstraksi DNA Plasmid
Ekstraksi DNA plasmid bertujuan untuk memisahkan DNA plasmid dari
komponen lain seperti protein dan DNA kromosomal (Nair, 2008).
Penambahan natrium asetat dapat menetralkan pH alkali, hal ini
menyebabkan DNA plasmid sirkular mengalami renaturasi dengan segera
sedangkan DNA kromosomal tidak dapat mengalami renaturasi dengan
sempurna diakibatkan adanya asosiasi intrastrand sebagaimana disebutkan
sebelumnya, sehingga terendapkan bersama komponen protein setelah
disentrifugasi (Ausubel et al., 2003). Saat proses ekstraksi DNA,
seringkali digunakan chelating agent seperti ethylenediamine tetraacetic
acid (EDTA) yang berperan menginaktivasi enzim DNase yang dapat
mendenaturasi DNA yang diisolasi, EDTA menginaktivasi enzim nuklease
dengan cara mengikat ion magnesium yang dibutuhkan sebagai kofaktor
enzim nuklease (Walker & Ralph, 2008).
3. Presipitasi dan Purifikasi DNA
Pada tahap ekstraksi, DNA plasmid akan berada pada fase aqueous setelah
penambahan natrium asetat dan disentrifugasi (Howe, 2007). DNA plasmid
yang berada pada fase aqueous tersebut dapat dipresipitasi dengan
menggunakan isopropanol atau ethanol (Reamet al., 2003). Kedua kemikalia
tersebut akan mempresipitasi DNA pada fase aqueous sehingga DNA
menggumpal membentuk struktur fiber dan terbentuk pellet setelah
sentrifugasi dilakukan (Switzer, 1999). Pada tahap presipitasi ini, DNA
yang terpresipitasi akan terpisah dari residu-residu RNA dan protein
yang masih tersisa, residu tersebut juga mengalami koagulasi, namun
tidak membentuk struktur fiber dan berada dalam bentuk presipitat
granular, saat ethanol atau isopropanol dibuang dan pellet
dikeringanginkan dalam tabung, maka pellet yang tersisa dalam tabung
adalah DNA pekat, presipitasi kembali dengan ethanol atau isopropanol
sebelum pellet dikeringanginkan akan meningkatkan derajat kemurnian DNA
yang didapat (Bettelheim & Landesberg, 2007).
Protokol Metode Alkaline Lisis

Isolasi DNA plasmid dengan prinsip alkalyne lysis yakni langkah pertama
yang dilakukan ini adalah resuspensi pellet sel bakteri dengan larutan
I. Larutan I adalah
campuran glukosa, Tris-HCl, dan Na-EDTA. Komponen glukosa pada larutan I
dapat berperan sebagai buffer untuk mempertahankan pH agar tetap pada
kisaran 12, hal ini sangat penting karena tahap pelisisan sel
menggunakan SDS-NaOH membutuhkan kondisi pH basa (Birnboim & Doly,
1979; Ausubel et al., 2003). Fungsi Tris-HCl dalam larutan I sebagai
buffer setelah sel mengalami pelisisan, sebagaimana disebutkan Surzycki
(2000), kondisi pH setelah pelisisan sel dapat dipertahankan pada
kisaran 7,6-9 yang merupakan kisaran pH fisiologis internal sel,
sehingga DNA tidak mengalami kerusakan. Na-EDTA pada larutan I berperan
sebagai chelating agent yang dapat menginaktivasi enzim DNase dengan
cara mengikat ion magnesium yang dibutuhkan sebagai kofaktor enzim
nuklease sehingga dapat mencegah DNA terdenaturasi oleh aktivitas DNase
(Bettelheim & Landesberg, 2007; Walker & Ralph, 2008).
Larutan II
yang merupakan campuran SDS dan NaOH ditambahkan pada suspensi sel
bakteri dalam larutan I. Penggunaan SDS dalam larutan II bertujuan untuk
melisiskan membran sel, O'sullivan dan Klaenhammer (1993) menyebutkan
bahwa SDS merupakan detergen anionik yang dapat melisiskan membran sel.
Selain melisiskan sel, SDS dapat mereduksi aktivitas enzim nuklease
dengan kemampuannya mendenaturasi komponen protein selular (Switzer,
1999). Komponen NaOH pada larutan II dapat memberikan kondisi basa yang
menyebabkan DNA mengalami denaturasi (Ausubel et al., 2003; Reece,
2004). Hal tersebut mengindikasikan bahwa penambahan larutan II
merupakan tahap pelisisan sel dalam proses isolasi DNA plasmid.
Penambahan larutan III
(Natrium asetat) pada campuran pellet sel bakteri, larutan I, dan
larutan II bertujuan untuk memisahkan antara DNA plasmid dengan komponen
selular lain seperti protein, DNA kromosomal, dan debris sel, setelah
sel dilisiskan. Dale & von Schantz (2007) menyebutkan bahwa
penambahan natrium asetat dapat menurunkan pH dan menyebabkan DNA
plasmid yang berukuran lebih kecil dari DNA kromosomal dapat segera
mengalami renaturasi sedangkan DNA kromosomal tidak dapat langsung
segera mengalami renaturasi. Inkubasi pada es selama 10 menit yang
dilakukan setelah penambahan larutan III dapat memaksimalkan renaturasi
DNA plasmid (Wilson & Walker, 2010). Sentrifugasi setelah penambahan
natrium asetat dapat menyebabkan DNA kromosomal, protein, dan RNA
dengan berat molekul yang relatif besar mengalami presipitasi (Reece,
2004). Hal tersebut menandakan bahwa pellet yang terbentuk setelah
sentrifugasi yang dilakukan setelah penambahan larutan III adalah
presipitat DNA kromosomal, protein, dan RNA dengan berat molekul relatif
besar, sedangkan DNA plasmid berada pada supernatan.
DNA plasmid yang terdapat supernatan dapat dipekatkan dan dipisahkan
dari kontaminan terlarut melalui proses presipitasi, sebagaimana
disebutkan Davis et al. (1994) bahwa komponen DNA yang terdapat pada
supernatan masih tercampur dengan garam-garam terlarut komponen buffer
dan DNA dapat dipisahkan dari kontaminan terlarut melalui presipitasi
DNA. Presipitasi DNA plasmid dalam supernatan dilakukan dengan
menambahkan isopropanol. DNA dapat terpresipitasi setelah penambahan
isopropanol disebabkan DNA tidak terlarut dalam isopropanol (Dolphin,
1998). Hasil presipitasi DNA plasmid dengan penambahan isopropanol pada
umunya nampak sebagai pellet berwarna putih.
Pellet DNA yang terbentuk setelah presipitasi dengan menggunakan
isopropanol dapat dipurifikasi untuk meningkatkan kemurnian DNA yang
didapat. Proses purifikasi DNA dilakukan dengan pencucian menggunakan
ethanol 70%. Pencucian dengan ethanol 70% dapat menghilangkan
residu-residu garam yang masih tersisa setelah presipitasi, sehingga DNA
yang didapatkan lebih murni (Keller & Mark, 1989; Zyskind &
Sanford, 1992).
Setelah pencucian dengan ethanol 70%, ethanol kemudian dibuang dan
pellet dikeringanginkan, lalu ditambahkan buffer TE dan disimpan di
freezer. Pelt-Verkuilet al. (2008) menyatakan bahwa buffer TE dan
penyimpanan suhu pada -20 °C memungkinkan DNA sampel yang telah
diekstraksi dapat disimpan hingga waktu berminggu-minggu. Keller &
Mark (1989) menyebutkan bahwa pelarutan kembali dengan buffer TE dapat
memisahkan antara RNA yang mempunyai berat molekul lebih rendah
dibandingkan DNA sehingga DNA yang didaptkan tidak terkontaminasi oleh
RNA dan DNA sangat stabil ketika disimpan dalam keadaan terpresipitasi
pada suhu -20 °C.
Jika DNA plasmid yang didapatkan belum menunjukkan informasi mengenai
derajat kemurnian ataupun ukuran molekulnya, maka perlu dilakukan
pengujian lebih lanjut untuk menguji keberhasilan proses isolasi DNA
plasmid. Analisis spektrofotometri dapat digunakan untuk mengukur
konsentrasi dan kemurnian DNA (Zyskind & Sanford, 1992; Dolphin,
2008), sedangkan ukuran DNA plasmid yang didapat dapat diperiksa melalui
analisis elektroforesis (Holme & Hazel, 1998).
0 Response to "Pengertian dan Metode Isolasi DNA Plasmid ( Artikel Lengkap )"
Post a Comment